Drainase
Berwawasan Lingkungan
Mendengar
kata hujan, mungkin yang terbayang di benak kita adalah banjir. Hal ini kerap
terjadi karena biasanya saat hujan turun sebagian besar air akan meluap dan
menimbulkan genangan ataupun banjir. Namun sebaliknya, ketika musim kemarau
sumber air banyak yang mengalami kekeringan karena cadangan air tanah permukaan
yang ada habis disedot untuk keperluan rumah tangga dan industri. Inilah
permasalahan terkait sektor air khususnya di perkotaan yang harus diperhatikan.
Salah satu solusi konkret untuk masalah tersebut adalah dengan memperbaiki
sistem drainase perkotaan.
Sistem Drainase Berwawasan Lingkungan
Drainase
didefinisikan sebagai pembuangan air permukaan, baik secara gravitasi maupun
dengan pompa dengan tujuan untuk mencegah terjadinya genangan, menjaga dan
menurunkan permukaan air sehingga genangan air dapat dihindarkan. Drainase
perkotaan berfungsi mengendalikan kelebihan air permukaan sehingga tidak
merugikan masyarakat dan dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
Kelebihan air tersebut dapat berupa air hujan, air limbah domestik maupun air
limbah industri. Oleh karena itu drainase perkotaan harus terpadu dengan
sanitasi, sampah, pengendali banjir kota dan lainnya.
Sebagaimana
tergambar pada bagan fasilitas penahan air hujan di atas, menurut Dr. Ir.
Suripin M.Eng dari Universitas Diponegoro, berdasarkan fungsinya, terdapat dua
pola yang dipakai untuk menahan air hujan, yaitu:
·
Pola
detensi (menampung air sementara), yaitu menampung dan menahan air limpasan
permukaan sementara untuk kemudian mengalirkannya ke badan air misalnya dengan
membuat kolam penampungan sementara untuk menjaga keseimbangan tata air.
·
Pola
retensi (meresapkan), yaitu menampung dan menahan air limpasan permukaan
sementara sembari memberikan kesempatan air tersebut untuk dapat meresap ke
dalam tanah secara alami antara lain dengan membuat bidang resapan (lahan
resapan) untuk menunjang kegiatan konservasi air.
Pengembangan permukiman di perkotaan yang demikian pesatnya justru makin mengurangi daerah resapan air hujan karena luas daerah yang ditutupi oleh perkerasan semakin meningkat dan waktu berkumpulnya air (time of concentration) pun menjadi jauh lebih pendek sehingga pada akhirnya akumulasi air hujan yang terkumpul melampaui kapasitas drainase yang ada.
Banyak
kawasan rendah yang semula berfungsi sebagai tempat parkir air (retarding pond)
dan bantaran sungai kini menjadi tempat hunian. Kondisi ini akhirnya akan
meningkatkan volume air permukaan yang masuk ke saluran drainase dan sungai.
Hal ini dapat dilihat dari air yang meluap dari saluran drainase, baik di
perkotaan maupun di permukiman, yang menimbulkan genangan air atau bahkan
banjir. Hal itu terjadi karena selama ini drainase difungsikan untuk
mengalirkan air hujan yang berupa limpasan (run-off) secepat-cepatnya ke penerima
air/badan air terdekat.
Untuk
mengatasi permasalahan infrastruktur tersebut diperlukan sistem drainase yang
berwawasan lingkungan dengan prinsip dasar mengendalikan kelebihan air
permukaan sehingga dapat dialirkan secara terkendali dan lebih banyak memiliki
kesempatan untuk meresap ke dalam tanah. Hal ini dimaksudkan agar konservasi
air tanah dapat berlangsung dengan baik dan dimensi struktur bangunan sarana drainase
dapat lebih efisien.
Menurut
Dr. Ing. Ir. Agus Maryono dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, pengelolaan
drainase secara terpadu berwawasan lingkungan merupakan rangkaian usaha dari
sumber (hulu) sampai muara (hilir) untuk membuang/mengalirkan hujan kelebihan
melalui saluran drainase dan atau sungai ke badan air (pantai/laut, danau,
situ, waduk, dan bozem) dengan waktu seoptimal mungkin sehingga tidak
menyebabkan terjadinya masalah kesehatan dan banjir di dataran banjir yang
dilalui oleh saluran dan atau sungai tersebut (akibat kenaikan debit puncak dan
pemendekan waktu mencapai debit puncak). Berbeda dengan prinsip lama, yaitu
mengalirkan limpasan air hujan ke badan air penerima secepatnya, drainase
berwawasan lingkungan bekerja dengan berupaya memperlambat aliran limpasan air
hujan.
Prinsipnya,
air hujan yang jatuh ditahan dulu agar lebih banyak yang meresap ke dalam tanah
melalui bangunan resapan, baik buatan maupun alamiah seperti kolam tandon,
sumur-sumur resapan, biopori, dan lain-lain. Hal ini dilakukan mengingat
semakin minimnya persediaan air tanah dan tingginya tingkat pengambilan air.
Pengembangan
prasarana dan sarana drainase berwawasan lingkungan ditujukan untuk mengelola
limpasan permukaan dengan cara mengembangkan fasilitas untuk menahan air hujan
sesuai dengan kaidah konservasi dan keseimbangan lingkungan. Konsep inilah yang
ingin mengubah paradigma lama dalam pembangunan drainase khususnya di
perkotaan.
Pelestarian
prasarana dan sarana drainase mandiri berbasis masyarakat sangat bergantung
pada kemauan dan kemampuan masyarakat dalam mengoperasikan, memanfaatkan, dan
memelihara prasarana dan sarana yang ada. Secara umum aspek yang perlu
diperhatikan dalam pelestarian adalah pengelolaan prasarana dan sarana serta
penyuluhan dan pedoman pemeliharaan yang mengedepankan partisipasi masyarakat.
Masyakarat dapat berperan dan berpartisipasi dalam setiap tahapan perencanaan,
pembangunan, operasional dan pemeliharaan sistem jaringan drainase melalui
beberapa tahap, antara lain:
1. Tahap Survei dan
Investigasi : masyarakat dapat memberikan informasi calon lokasi yang akan
dibangun dan kondisi setempat seperti kelayakan dari segi teknis dan ekonomi.
2. Tahap Perencanaan :
masyarakat dapat ikut serta dalam persetujuan, kesepakatan dan penggunaan dari
perencanaan yang telah dibuat.
3. Tahap Pembebasan Lahan
: masyarakat memberi kemudahan dan memperlancar proses pembebasan lahan apabila
lahan masyarakat terkena dampak pembangunan.
4. Tahap Pembangunan :
masyarakat dapat ikut serta dalam pengawasan dan terlibat dalam pelaksanaan
sesuai dengan kapasitas dan kemampuan.
5. Tahap Operasi dan
Pemeliharaan : masyarakat ikut serta aktif dalam pemeliharan dan pengoperasian,
melaporkan jika ada kerusakan.
6. Tahap Monitoring dan
Evaluasi : masyarakat dapat memberikan data yang benar dan nyata sesuai dengan
kondisi eksisting di lapangan terkait segala sesuatu yang berhubungan dengan
pelaksanaan proyek serta dampak yang ditimbulkannya.
Cara
paling efektif agar drainase berwawasan lingkungan ini dapat berkelanjutan
adalah peran serta masyarakat untuk ikut aktif di dalam penerapan pelestarian
air tanah karena jika persediaan air tanah habis, merekalah yang paling
merasakan akibatnya. Masyarakat dapat berperan aktif untuk ikut menabung air
melalui kolam tandon penampung air hujan, berupa reservoir bawah tanah maupun
dengan tangki penampung yang berfungsi menampung dan mengalirkan air hujan yang
jatuh dari permukaan tanah, bangunan, juga atap rumah.
Sumur
Resapan, Solusi Termurah. Sumur resapan adalah salah satu solusi murah dan
cepat untuk masalah banjir. Umumnya sumur resapan berbentuk bundar dengan
diameter minimal 1 meter. Lubang galian sebelah atas sampai lapisan tanah
relatif keras dan bersemen agar dilindungi dengan bidang penahanan longsoran
dinding sumur (bisa dari bambu, pasangan bata, base beton atau drum). Kedalaman
sumur resapan relatif tergantung kondisi formasi batuan dan muka air tanah.
Untuk daerah yang muka air tanahnya dalam, kedalaman sumur resapan dapat dibuat
hingga mencapai 5 meter.
Idealnya
dalam perencanaan drainase di suatu wilayah perlu direncanakan adanya sumur
resapan sehingga dimensi saluran drainase dapat lebih diminimalkan. Untuk hasil
yang lebih maksimal, penggunaan sumur resapan dapat divariasikan dengan
bangunan drainase lainnya seperti kolam resapan. Upaya ini akan berdampak besar
bila semua masyarakat sadar dan mau menerapkannya.
Peran
sumur resapan tentu tidak akan berarti bila hanya beberapa rumah yang
menerapkannya. Bayangkan, bila setiap rumah memiliki sumur resapan yang
masing-masing mampu meresapkan air hujan sejumlah satu meter kubik dan satu
kawasan terdapat sepuluh ribu rumah maka akan didapatkan sepuluh ribu meter
kubik air yang dapat meresap ke tanah. Kawasan tersebut dapat mengurangi
limpasan permukaan yang akan membebani saluran drainase di hilir dan mampu
mengurangi masalah kekeringan pada musim kemarau karena pada musim penghujan,
mereka telah menabung air.
Sumber
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar